Pengembilan Keputusan yang Berpihak kepada Murid
Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Ki Hajar Dewantara memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan.
Setiap guru dalam melakukan suatu perubahan, harusnya menerapkan dasar-dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa pendidik adalah hanya bisa merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat alam dan kodrat zaman. Olehnya itu, Bapak Pendidikan Indonesia tersebut mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun.
Dalam proses ‘menuntun’ Peserta Didik diberi kebebasan namun Guru sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar Peserta Didik tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar Peserta Didik dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar.
Sejalan dengan hal tersebut, pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap Triloka “Ing Ngarso Suntulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” memiliki pengaruh yang sangat besar bahwa seorang guru menjadi teladan uswatun khasanah saat mendidik dimanapun berada, memberikan semangat ketika melakukan dan menerapkan budaya positif, serta mendorong peserta didik dalam mengarungi pendidikan sebagai salah satu upaya menggapai cita-citanya.
Kita semua mengalami fenomena pandemi COVID-19 sejak awal tahun 2020. Secara fisik sekolah dan kelas diadakan dari jauh, namun sebetulnya jika dipikirkan ternyata kelas-kelas ini justru mendekat dan masuk ke rumah-rumah Peserta Didik kita di masa pandemi ini. Pandemi membukakan mata kita bahwa guru punya peran yang besar dalam proses belajar Peserta Didiknya, sekaligus menyingkapkan bahwa orangtua pun punya peran yang tak terelakkan dalam pendidikan anak-anaknya di rumah. Hal itu membuat kita kembali percaya bahwa gotong-royong dalam pendidikan adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Dunia kini sudah semakin tanpa batas, teknologi telah berhasil menghilangkan jarak. Pertukaran budaya baik yang positif maupun negatif kini menjadi sukar terawasi dan tanpa filter. Filter tersebut diharapkan dapat ditumbuhkan sejak dini dalam setiap diri manusia Indonesia agar budayanya tidak tergerus oleh budaya lain yang lebih agresif melakukan penetrasi. Oleh karena itu, sebagai pendidik, kita dipaksa untuk berpikir kembali mengenai makna dan tujuan pendidikan kita.
Dari pengalaman tersebut, kita disadarkan kembali bahwa pendidikan adalah suatu hal yang sifatnya individual sekaligus komunal yang tak terpisahkan. Peserta Didik di kelas-kelas kita adalah bagian dari sebuah komunitas di rumah, di masyarakat, dan di lingkungan. Memertimbangkan kesaling terhubungan dan kerumitan tersebut, maka sebagai Guru mau tidak mau, kita harus menilik kembali apakah nilai-nilai diri kita telah selaras dengan tuntutan zaman dan alam yang seperti itu.
Nilai-nilai diri guru sekaligus sebagai posisi kontrol yaitu mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak kepada Peserta Didik. Seorang Guru harus mengakui bahwa dirinya adalah pribadi-pribadi istimewa yang unik. Sehingga mampu menikmati proses munculnya pikiran dan emosi sebagai gambaran aspek intrinsik yang perlu dipertimbangkan sebagai satu kesatuan bersama aspek ekstrinsik dalam konteks lingkungan pembelajaran.
Mengolah emosi juga menjadi sebuah tantangan bagi seorang Guru. Sehingga diperlukan sebuah pendekatan Pembelajaran Sosial dan Emosional yaitu pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan Peserta Didik dan Guru di sekolah memeroleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional.
Metode coaching juga adalah hal yang patut menjadi pertimbangan untuk dilakukan oleh seorang Guru. Dalam proses coaching, Peserta Didik diberi kebebasan namun Guru dalam memberi tuntunan dan arahan agar Peserta Didik tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang Guru dapat memberikan ‘tuntunan’ melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif agar kekuatan kodrat Peserta Didik terpancar dari dirinya.
Dalam konteks pendidikan Indonesia saat ini, coaching menjadi salah satu proses ‘menuntun’ kemerdekaan belajar Peserta Didik dalam pembelajaran di sekolah. Coaching menjadi proses yang sangat penting dilakukan di sekolah terutama dengan diluncurkannya program merdeka belajar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Program ini dapat membuat Peserta Didik menjadi lebih merdeka dalam belajar untuk mengeksplorasi diri guna mencapai tujuan pembelajaran dan memaksimalkan potensinya. Harapannya, proses coaching dapat menjadi salah satu langkah tepat bagi guru untuk membantu Peserta Didik mencapai tujuannya yaitu kemerdekaan dalam belajar.
Arah pengambilan keputusan pembelajaran di satuan pendidikan akan nampak lebih jelas dan terarah, jika proses pengambilan keputusan yang dilakukan juga secara tepat, terukur, dan efektif serta berpihak kepada Peserta Didik. Meski demikian, selama ini dalam pengambilan keputusan, diakui bahwa tidak semua keputusan merupakan dilema etika. Ada kalanya itu lebih berupa bujukan moral.
Dilema etika adalah situasi ketika akan mengambil sebuah keputusan, diperhadapkan pada dua pilihan yang sama-sama benar. Sedangkan, bujukan moral adalah situasi ketika akan mengambil sebuah keputusan, diperhadapkan pada dua pilihan yang bertentangan. Dari pengalaman bekerja pada institusi pendidikan, Guru telah mengetahui bahwa dilema etika adalah hal berat yang harus dihadapi dari waktu ke waktu. Ketika Guru menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan mendasari yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup.
Secara umum ada pola, model, atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang bisa dikategorikan sebagai berikut:
1. Individu lawan masyarakat (individual vs community)
2. Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)
3. Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)
4. Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)
Etika tentunya bersifat relatif dan bergantung pada kondisi dan situasi, dan tidak ada aturan baku yang berlaku. Tentunya ada prinsip-prinsip yang lain. Nilai-nilai atau prinsip-prinsip inilah yang mendasari pemikiran seseorang dalam mengambil suatu keputusan yang mengandung unsur dilema etika. Ketiga prinsip tersebut adalah:
1. Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)
2. Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)
3. Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)
Selain itu, dalam pengambilan keputusan juga melakukan 9 (sembilan) langkah pengambilan keputusan yaitu: (1) Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi yang dihadapi; (2) Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi tersebut; (3) Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi tersebut; (4) Lakukan pengujian benar atau salah; (5) Lakukan pengujian Paradigma Benar lawan Benar; (6) Melakukan Prinsip Resolusi; (7) Investigasi Opsi Trilema; (8) Buat Keputusan; dan (9) Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan
Dengan demikian, keputusan yang diambil, benar-benar memberikan rasa nyaman, kondusif, aman dan berdampak positif di satuan pendidikan, karena sejatinya seorang guru adalah merupakan seorang pemimpin pembelajar yang akan menentukan arah kebijakan belajar dan tentunya harus berorientasi kepada keberpihakan kepada Peserta Didik.
Sejalan dengan itu, Paseng Tomatoa Bugis (pesan orang tua Bugis) mengatakan “rekkuwa engka kedo rinawa-nawammu. Tangngai addimunrinna, rekkawa naddimunri jak napoancajiwi Dewata Seuwwae deceng narekko kedo maja ammatu-matuangngi apa temmapuji Dewata Seuwwa-e rija-e” (bila ada keinginan dalam hatimu, pandanglah akibatnya. Jika menimbulkan keburukan, semoga Allah mengubah menjadi sebuah kebaikan, sebaiknya jika terbelit sesuatu prasangka buruk, perlambatlah waktunya karena Allah SWT yang Maha Tunggal tidak menyukai keburukan.
Pappaseng tersebut mengingatkan orang agar berhati-hati dalam mengambil keputusan. Suatu keputusan untuk dipertimbangkan atas baik dan buruk berdasarkan hati, jika sesuai dengan anjuran Allah maka perbuatan itu dapat dilakukan. Jika tidak sesuai dengan hati, maka perbuatan itu sebaiknya tidak dilakukan.
Olehnya itu, dalam mengambil sebuah keputusan yang berpihak kepada Peserta Didik, harusnya memperhatikan paradigma, nilai, dan 9 (sembilan) tahapan pengambilan keputusan.